JAKARTA — Kekurangan Tenaga Kerja IT dan Cybersecurity: Perusahaan Prioritaskan Pengalaman Otodidak
Industri teknologi informasi (IT) dan keamanan siber (cybersecurity) di Indonesia tengah menghadapi tantangan serius akibat kekurangan tenaga kerja berkualitas.
Berbagai perusahaan, mulai dari startup hingga korporasi besar, kini mengalihkan fokus perekrutan mereka pada kandidat dengan pengalaman praktis dan proyek nyata, alih-alih hanya mengandalkan ijazah atau pengalaman kerja formal.
Permintaan akan tenaga kerja di bidang IT dan cybersecurity melonjak seiring meningkatnya ancaman siber dan transformasi digital di berbagai sektor.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, banyak perusahaan mengeluhkan kesulitan menemukan kandidat yang memiliki keterampilan teknis mendalam dan kemampuan beradaptasi yang diperoleh melalui pengalaman otodidak.
“Kami tidak lagi hanya melihat gelar sarjana atau riwayat pekerjaan formal. Kami membutuhkan kandidat yang sudah terbukti mampu menyelesaikan proyek nyata, baik melalui portofolio pribadi maupun inisiatif otodidak,” ungkap seorang manajer SDM di sebuah perusahaan teknologi di Jakarta, Senin (27/10/2025).
Tren ini terlihat jelas di berbagai platform lowongan kerja, di mana kualifikasi seperti pengalaman mengembangkan aplikasi, merancang sistem keamanan jaringan, atau menangani insiden siber menjadi syarat utama. Sebaliknya, sertifikat pendidikan formal atau pengalaman kerja konvensional sering kali hanya menjadi pelengkap.
Namun, perubahan paradigma ini memicu keresahan di kalangan pencari kerja dengan latar belakang pendidikan formal. Banyak lulusan universitas ternama merasa tersisih karena kurangnya pengalaman praktis atau proyek yang relevan.
“Ini tidak adil. Kami belajar bertahun-tahun di kampus, tapi perusahaan justru lebih memilih mereka yang belajar sendiri tanpa gelar,” keluh seorang lulusan teknik informatika dari universitas di Bandung.
Di sisi lain, para profesional otodidak yang telah membangun portofolio melalui proyek open-source atau freelance justru semakin diminati. Mereka dianggap lebih fleksibel dan memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi terkini, yang sering kali tidak diajarkan dalam kurikulum formal.
Pengamat industri teknologi, Dr. Budi Santoso, menilai fenomena ini mencerminkan perubahan kebutuhan pasar yang kian dinamis.
“Perusahaan tidak lagi mencari karyawan yang hanya bisa menunjukkan ijazah. Mereka membutuhkan individu yang mampu berpikir kritis, memecahkan masalah, dan membuktikan kemampuan melalui proyek nyata,” ujarnya.
Ia juga menyoroti rendahnya kesiapan lulusan baru dalam menghadapi kebutuhan industri. Menurutnya, institusi pendidikan perlu menyesuaikan kurikulum agar lebih berorientasi pada praktik dan proyek langsung, bukan hanya teori.
Sementara itu, sejumlah perusahaan teknologi mulai menggelar pelatihan intensif untuk menjembatani kesenjangan ini. Namun, pelatihan tersebut sering kali hanya terbuka bagi kandidat yang telah menunjukkan bakat atau pengalaman awal melalui proyek mandiri.
“Jika universitas tidak mampu menghasilkan lulusan yang siap pakai, maka perusahaan akan terus mengandalkan talenta otodidak yang telah teruji di lapangan,” tegas seorang eksekutif di perusahaan cybersecurity ternama.
Hingga saat ini, Kementerian Ketenagakerjaan belum memberikan tanggapan resmi terkait keluhan pelamar kerja formal. Namun, para pelaku industri mendesak adanya sinergi antara pemerintah, perguruan tinggi, dan sektor swasta untuk menciptakan ekosistem yang mendukung pengembangan talenta IT dan cybersecurity yang relevan dengan kebutuhan pasar.






