PAMEKASAN — Bayang-bayang busuk pembiaran hukum kini seolah menyelimuti Bumi Gerbang Salam. Para pengusaha rokok ilegal kian berani memproduksi dan mengedarkan barang tanpa cukai, sementara Bea Cukai Madura di bawah pimpinan Novian Dermawan justru dinilai bermain aman dan berpura-pura menegakkan hukum.
Alih-alih memburu bandarnya, aparat justru mengobarkan semangat “penegakan hukum” dengan menggerebek warung-warung kecil, menyita beberapa bungkus rokok, lalu dipotret dan di video dengan bangga di depan kamera. Padahal di balik itu semua, jaringan besar rokok ilegal di Kabupaten Pamekasan tetap beroperasi dengan tenang bahkan subur merajalela.
Bea Cukai Madura kini tengah disorot tajam publik. Di lapangan, operasi yang digembar-gemborkan setiap pekan justru menyasar pedagang kecil — bukan pengusaha besar yang jelas-jelas mengoperasikan pabrik tanpa izin.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Salah satu yang paling disorot adalah pabrik rokok merek MasterClass yang berlokasi di Desa Plakpak, Kabupaten Pamekasan, diduga kuat dikendalikan oleh Haji MJ, seorang oknum Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Pamekasan.
MasterClass dikenal masyarakat karena tampilannya mirip Marlboro bolong, namun dijual dengan harga jauh lebih murah.
“Rokok MasterClass ini paling laku di sini, karena rasanya mirip Marlboro. Saya jual Rp11 ribu per bungkus,” ujar seorang penjual di Sumenep, Rabu (8/10/2025).
Namun, meski keberadaannya bukan rahasia lagi, gudang dan jaringan distribusi MasterClass tetap aman.
Tak satu pun tindakan nyata dilakukan.
Bea Cukai seolah kehilangan nyali ketika berhadapan dengan nama-nama besar.
Sumber internal menyebutkan, sejumlah operasi Bea Cukai Madura selama 2025 lebih bersifat “simbolis”.
Mereka datang dengan rombongan besar, membawa plastik kresek berisi rokok sitaan dari warung kecil, lalu mengklaim “penegakan hukum berjalan”. Namun sesudahnya, tidak ada proses hukum yang menyentuh rantai produksi utama.
Praktik seperti ini disebut sebagai “teater hukum” aksi pencitraan untuk memenuhi laporan bulanan, sementara bisnis ilegal tetap berdenyut bebas.
Program Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) yang menelan miliaran rupiah setiap tahun untuk edukasi dan pemberantasan rokok ilegal pun dinilai hanya jadi ritual tahunan tanpa hasil nyata.
Sikap lemah Bea Cukai Madura kontras dengan komitmen tegas Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Dalam konferensi pers APBN KiTA di Jakarta, Senin (22/9/2025), Purbaya menegaskan bahwa pemerintah telah mengantongi daftar nama pengedar dan produsen rokok ilegal di Indonesia.
“Kami sudah deteksi siapa saja yang jual. Kita akan mulai tangkapin. Jadi yang masih mau jual, harus berhenti. Itu saya harapkan bisa mengurangi konsumsi rokok ilegal,” ucapnya.
Purbaya bahkan berjanji akan menindak siapa pun yang terlibat, termasuk oknum Bea Cukai sendiri. Namun di Madura, janji itu seperti menghilang di kabut kepentingan. Tak ada tindakan nyata, tak ada penyitaan besar, hanya diam yang mencurigakan.
Aktivis Peduli Bea Cukai, Ahmadi, menyebut, kondisi lembaga tersebut yang dianggap tidak produktif dan tidak berani melawan kejahatan ekonomi.
“Yang terjadi di Madura bukan kelalaian, tapi seoalah olah ada pembiaran sistematis! Bea Cukai sudah tahu siapa bandarnya, di mana pabriknya, tapi diam. Saya menduga mereka lebih sibuk cari pencitraan daripada keadilan,” kata Ahmadi.
Ia menilai, Bea Cukai Madura kini kehilangan integritas dan arah moral.
“Kalau lembaga negara hanya berani menindas pedagang kecil tapi takut kepada bandar besar, lebih baik dibubarkan saja! Karena kehadirannya tidak lagi melindungi negara, melainkan mempermalukannya,” pintanya.
Kasus ini menjadi uji nyali bagi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang berkomitmen menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Bebasnya produksi dan peredaran rokok ilegal di Pamekasan jelas menampar wajah penegakan hukum nasional.
“Jika pemerintah pusat tidak segera turun tangan, publik akan menilai bahwa aparat daerah, khususnya Bea Cukai Madura, telah menjadi bagian dari jaringan yang mereka seharusnya berantas,” terangnya.
Setiap batang rokok ilegal yang beredar berarti kerugian langsung bagi negara.
Nilainya bukan kecil triliunan rupiah.
Namun ironisnya, justru di daerah penghasil tembakau seperti Madura, aparat yang mestinya menjaga keadilan malah diduga bersekongkol atau berpura-pura buta.
Bea Cukai Madura kini berada di ujung tanduk kepercayaan publik.
Rakyat sudah muak dengan operasi setengah hati yang hanya menargetkan rakyat kecil. Mereka ingin bukti, bukan drama.
“Kalau hukum hanya jadi pertunjukan, maka aparat seakan bukan lagi penegak keadilan,” ujarnya.
Selama pabrik rokok ilegal masih berdiri tegak di Plakpak dan aparat terus menutup mata, Madura akan tetap menjadi panggung paling tragis dari sandiwara hukum Indonesia.
Penulis : Redaksi