SUMENEP – Bayang-bayang gelap peredaran rokok ilegal kembali menodai Madura. Kabupaten Sumenep menjadi pasar empuk, sementara Pamekasan disebut sebagai dapur produksi. Dua merek paling mencolok, “Angker” beredar bebas tanpa pita cukai, seolah hukum mati suri di hadapan mereka.
Ironisnya, rokok Angker yang ditengarai milik UMam asal Pamekasan itu pernah ikut dimusnahkan oleh Bea Cukai Madura pada Agustus lalu. Namun, alih-alih lenyap dari pasaran, kini produk bodong itu justru semakin mudah didapatkan, dijual terang-terangan dengan harga Rp11 ribu per bungkus, seolah pemusnahan itu hanya seremonial belaka.
“Rokok ilegal merk Angker ini saya jual Rp11 ribu. Banyak pembeli suka karena harganya murah dan rasanya beragam, meski jelas-jelas tanpa cukai,” ungkap salah satu penjual di Sumenep.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Kenyataan bahwa bandarnya masih dibiarkan bebas menimbulkan pertanyaan besar. Apakah Bea Cukai Madura benar-benar tidak mampu menindak, atau justru sengaja menutup mata?
Situasi ini membuat publik gusar. Sebab, negara dirugikan miliaran rupiah akibat hilangnya penerimaan cukai, sementara pelaku usaha resmi merasa dipermainkan. Lebih parah lagi, peredaran “Angker” menampar wajah penegakan hukum karena berlangsung terang-terangan di bawah pengawasan Bea Cukai Madura yang dipimpin Novian Dermawan.
Kini sorotan tajam mengarah ke Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa. Kasus rokok bodong “Angker” dan ratusan merek lain yang diproduksi di Pamekasan disebut sebagai ujian keberanian Purbaya. Apakah ia berani menindak tegas mafia rokok ilegal dan aparat yang bermain mata, atau justru membiarkan praktik kotor ini semakin membusuk?
Publik menanti langkah nyata Purbaya, karena diam berarti memberi ruang bagi “Angker” dan rokok bodong lainnya untuk terus menggerogoti keuangan negara.
Hingga berita ini diturunkan, Kepala Bea Cukai Madura Novian Dermawan belum memberikan klarifikasi. Sementara itu, Detikzone bersama tim investigasi terus menelusuri jalur distribusi rokok ilegal Angker dari Pamekasan hingga Sumenep, yang kini menjadi simbol betapa lemahnya pengawasan dan keberanian aparat di lapangan.
Penulis : Redaksi